Bismillahirrahmaanirrahiim,
alhamdulillah, segala puji hanya ditujukan kepada Allah Ta’ala, dan sholawat
serta salam semoga selalu tercurahkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya hingga akhir jaman.
Sobat yang semoga selalu dirahmati oleh Allah, tentu saya
yakin bahwa setiap muslim mempercayai bahwa agama Islam ini telah sempurna.
Syariat ini telah disampaikan secara sempurna oleh nabi kita Muhammad
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tanpa ditambahkan atau dikurangi. Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman: “...Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...” (QS. Al-Maidah:
3).
Alhamdulillah, salah satu ayat
terakhir yang diturunkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ini
adalah bukti bahwa Beliau telah selesai mengemban amanah untuk me-nyampaikan
risalahNya, tanpa dikurangi ataupun ditambahkan sedikitpun. Karena memang konsekuensi
sesuatu yang telah sempurna, tidak bisa ditambahkan atau dikurangi sedikitpun.
Maka pada hari itu, apa yang baru dalam agama ini, maka itu bukanlah bagian
dari agama. Siapapun orangnya, mau ustadz, kiai, wali ataupun ulama pun tidak
bisa menambah-nambah satu buah syariat pun ke dalam agama, sebagai konsekuensi
bahwa agama ini telah sempurna.
Tentu saja kesempurnaan Islam ini,
semoga kita diistiqomahkan dalam dien ini hingga ajal menjemput, merupakan
nikmat yang sangat besar. Dengan sempurnanya agama Islam ini, kita tidak perlu
capek-capek membuat amalan baru, tata cara ibadah baru, atau bahkan
perayaan-perayaan baru yang dinisbatkan kepada Islam. Karena Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak”
(HR. Muslim no. 1718).
Salah seorang ulama salaf bernama
Ibnu Atthor rahimahullah, murid Imam
Nawawi rahimahullah menjelaskan
mengenai hadits ini. “Para ulama menganggap perbuatan bid‟ah yang tidak pernah
diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu, di mana
amalan tersebut adalah sesuatu yang tidak ada landasan (alias: tidak berdalil),
maka sudah sepantasnya hal ini diingkari. Pelaku bid‟ah cukup disanggah dengan
hadits yang shahih dan tegas ini karena perbuatan bid‟ah itu mencacati ibadah.”
(Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan Mukhtashor An
Nawawi, hal. 72).
Lihat saudaraku seiman yang kucintai
karena Allah Ta’ala, hadits yang singkat namun memiliki makna yang sangat
dalam, sampai-sampai Ibnu Atthor mengatakan cukup sanggah pendapat pelaku
bid’ah ini dengan hadits di atas. Dalam dan tegas, yang mengandung kon-sekuensi
jangan bermain-main dalam syariat, khususnya ibadah. Semua yang berhubungan
dengan ibadah, tentu harus dilaksanakan apabila ada dalil yang menunjukkan akan
hal itu. Ini sesuai dengan firman Allah: Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(QS Ali Imran: 31).
Ulama Syafi’iyah memiliki sebuah
kaidah “Hukum asal ibadah adalah tawaqquf
(diam sampai datang dalil)”. Perkataan ini dilontarkan oleh Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi‟i yang jadi
rujukan. Tentu sesuai kaidah hukum asal ibadah ini sesuai dengan firman Allah
surat Ali Imran ayat 31 di atas.
Dengan begitu, maka sudah sepantasnya
kita beribadah sesuai dengan apa yang telah disampaikan dan dicontohkan oleh
Rasulullah, baik melalui Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Alhamdulillah agama ini
telah sempurna, sehingga kita cukup beribadah dan menjalankan syariat sesuai dengan apa yang Allah gariskan
melalui RasulNya. Tentu kita tidak mau men-jadi hamba Allah yang kufur nikmat
bukan? Allah telah menyempurnakan syariatNya, namun kita justru membuat-buat
hal baru dalam agama ini hanya dengan perasaan bahwa ini akan membawa pada
kebaikan. Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menyempurnakan agama yang
mulia ini...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar